Nyeker Atau tanpa alas kaki adalah bagian dari sebuah kebiasaan atau tradisi budaya dan bahkan agama, bagaimana manusia menghormati sebuah tempat, karena dianggap "suci" atau "disucikan".
Diyakini dalam tradisi Sunda (geografis) atau ke-sunda-an (filosofis), kawasan puncak gunung dianggap/dipercaya suci, sakral, "keramat", buyut, larangan, sehingga di antara aturannya diharuskan membuka alas kaki alias "nyeker".
Mungkin, sudah beribu-ribu tahun lamanya sistem kepercayaan di atas dianggap sebuah ritus mistik belaka atau mitos yang tidak ada korelasi dengan ilmu pengetahuan. Bahkan dari kacamata modern, untuk kegiatan di alam bebas, tindakan tersebut dianggap berbahaya, tidak safety prosedur. Tidak bermaksud untuk mencari siapa yang paling benar, sebatas sharing pengetahuan, karena pada prinsipnya demi menjaga dan melestarikan alam/lingkungan ini lakukanlah jika itu diyakini benar. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan keterkaitan sebuah tradisi dalam menjaga dan melestarian (konservasi) alam.
"Puncak gunung" dalam pemahaman tradisi adalah "gentong bumi", yaitu wadah (gentong) bagi segala asal (wiwitan) makhluk (berasal dari bumi/tanah). Di dalam gentong bumi, terkandung saripati kehidupan yang tanpa henti berproses melalui siklus jutaan bahkan miliaran tahun lamanya (sejak sempurna bumi ini diciptakan).
Penguraian bahan-bahan material alami (pohon, tumbuhan lainnya, hewan, batuan/mineral, dll) terurai menjadi zat-zat pembawa sifat alami sebuah ekosistem yang tidak dapat terlihat oleh kasat mata (energi), kemudian larut/bersenyawa dalam air dalam bentuk fisik air yang tidak berwarna, yaitu dapat dilihat dari "herang" atau beningnya mata air (sirah cai).
Selanjutnya, zat-zat alami tersebut melalui sungai didistribusikan ke setiap pelosok daerah. Selama zat-zat alami tersebut dapat dijaga, maka akan membawa keselarasan hidup semua makhluk, tetapi jika sebaliknya, maka kehancuran atau bencana yang akan dirasakan.
Jadi, sesungguhnya argumentasi atas pentingnya menjaga kawasan/lingkungan di atas, mengapa kawasan puncak gunung disucikan atau disakralkan. Jika tidak disucikan dan tercemar oleh zat-zat berbahaya, maka konsekuensinya adalah hilangnya sifat alami pada suatu ekosistem. Adapun pensakralan berdimensi religius-spiritual, yaitu menyangkut kepercayaan terhadap Sang Pencipta, karena sistem yang terkandung dalam puncak gunung sebagai gentong bumi tersebut adalah di luar kuasa manusia.
Apa korelasinya dengan "nyeker"?
Apabila dikaji lebih dalam, keharusan nyeker atau tanpa alas kaki memasuki kawasan puncak gunung korelasinya (tujuan pelestarian) adalah komprehensif, di antaranya;
1) Membatasi jarak pandang, jika nyeker jarang pandang kita ke tanah berjarak pendek, dan memungkinkan semua areal tanah yang dipijak terlihat seluruhnya, sehingga menimbulkan kelebihahati-hatian dan mengurangi dampak adanya benda yang rusak akibat tidak terlihat atau tidak terkontrol, jika memakai alas kaki (apalagi sepatu) jarak pandang kita ke tanah lebih panjang, sehingga memungkinkan ada bagian tanah yang tidak terkontrol dan menimbulkan benda yg ada di sekitarnya rusak;
2) Telapak kaki bersifat lentur, sehingga benda yang terinjak tingkat terganggunya relatif kecil, berbeda dengan alas kaki yang bersifat padat dan keras, sehingga dapat mengganggu benda yang diinjakinya. Benda yang dimaksud termasuk mikro organisme (jasad renik);
3) Telapak kaki, seperti halnya telapak tangan, adalah indra peraba, jadi setiap tanah yang diinjakinya secara alami terjadi saling mengakses energi, baik dari bumi (alam) ke dalam diri kita, maupun dari dalam diri kita ke bumi, sehingga tanpa harus berbicara langsung, alam sudah membaca kesan dan pesan dari dalam.diri kita;
4) Jika ada tekanan (fisik atau suhu), luka akibat duri dan lintah (pacet) yang menempel adalah proses bagaimana membangun kepekaan diri (naluri) secara langsung tentang alami tidaknya atau baik buruknya sebuah kawasan. Kemudian, dari sisi kesehatan dari tekanan fisik merupakan refleksi yang baik dalam mengaktivasi fungsi organ tubuh, tekanan suhu pada telapak kaki adalah membantu tubuh dapat menyesuaikan/mengatur perubahan suhu di luar tubuh, luka kecil dapat mengantisipasi potensi struk, dan lintah (pacet) sudah tidak diragukan lagi nilai manfaatnya bagi kesehatan tubuh;
5) Mengurangi kebisingan, karena puncak gunung merupakan pertahanan terakhir bagi habibat satwa tertentu, maka dengan "nyeker" tidak menimbulkan efek suara yang mengganggu, tentu berbeda dengan bersepatu yang menimbulkan suara, sehingga satwa-satwa jauh menghindar; dan
6) Jejak telapak kaki manusia relatif mudah hilang, karena memiliki kontur yang relatif landai, sehingga dengan mudah hilang disapu air hujan atau endapan serasah (sampah) hutan. Hal ini penting, agar satwa tidak terlalu lama meninggalkan habitatnya saat ada gangguan manusia. Tentu berbeda jika jejaknya merupakan bekas alas kaki, apalagi berhak lebar dan agak tinggi.
Demikian sekilas tentang "nyeker' yang mungkin masih banyak misteri yang belum terkuak, namun penjelasan diatas dapat mewakili bahwa ternyata "nyeker" merupakan warisan pengetahuan leluhur dalam menjaga kelestarian suatu kawasan, hal kecil dan kesederhanaan ternyata memiliki manfaat dan makna luar biasa untuk kehidupan generasi yang akan datang.
Penulis : Rahmat Leuweung
#Selamatkan_Alam
#selamatkan_hutan
0 comments:
Post a Comment