penurunan tanah (Land subsidence) adalah
suatu fenomena alam yang banyak terjadi di kota-kota besar yang berdiri di atas
lapisan sedimen, seperti Jakarta, Semarang, Bangkok, Shanghai, dan Tokyo. Dari
studi penurunan tanah yang dilakukan selama ini, diidentifikasi ada beberapa
faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu : pengambilan air tanah yang
berlebihan, penurunan karena beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi
alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik.
Dari empat tipe penurunan tanah ini, penurunan akibat pengambilan air tanah
yang berlebihan dipercaya sebagai salah satu tipe penurunan tanah yang dominan
untuk kota-kota besar tersebut.
Karena data dan informasi tentang penurunan muka tanah akan
sangat bermanfaat bagi aspek- aspek pembangunan seperti untuk perencanaan
tata ruang (di atas maupun di bawah permukaan tanah), perencanaan pembangunan
sarana/prasarana, pelestarian lingkungan, pengendalian dan pengambilan
airtanah, pengendalian intrusi air laut, serta perlindungan masyarakat (linmas)
dari dampak penurunan tanah (seperti terjadinya banjir); maka sudah sewajarnya
bahwa informasi tentang karakteristik penurunan tanah ini perlu diketahui
dengan sebaik-baiknya dan kalau bisa sedini mungkin. Dengan kata lain fenomena
penurunan tanah perlu dipelajari dan dipantau secara berkesinambungan.
Berdasarkan tinjauan
berbagai macam pustaka, faktor-faktor penyebab terjadinya penurunan muka tanah
dapat didefnisikan, sebagai berikut:
1. Pengambilan
air tanah yang berlebihan (Burbey J.T., 2005).
2. Penurunan
karena beban bangunan (Quaxiang, 2001).
3. Konsolidasi
alamiah lapisan tanah (Wei,Q., 2006).
4. Gaya-gaya
tektonik (Chang, C.P., 2005).
5.
Ekstraksi gas
dan minyak bumi (Odijk, D., 2005).
6. Penambangan
bawah tanah (Rizos, C., 2007).
7. Ekstraksi
lumpur (Deguchi, T., 2007).
8. Patahan kerak
bumi (Rahtje et al., 2003)
9. Konstraksi
panas bumi di lapisan litosfer (Hamdani et al., 1994)

Pada tahun 2007 Kecamatan Telukjambe
Barat dilanda banjir besar salah satunya Desa Karangligar, namun pada saat itu
masyarakat menganggap bahwa itu merupakan bencana siklus 25 tahunan, karena
pada tahun 1972 Kecamatan Telukjambe Barat pun pernah dilanda banjir besar
namun pada saat itu Desa Karangligar aman dari banjir bahkan menjadi lokasi
tempat pengungsian dari Desa Parungsari yang merupakan desa yang terletak di
bantaran sungai cibeet.
Pada tahun 2009 Desa Karangligar
dilanda banjir namun pada saat itu jika dibandingkan desa-desa sekitar Desa
Karangligar paling parah, ini jadi satu tanda tanya awal untuk masyarakat Desa
Karangligar dan sekitarnya., kenapa bisa begini ? kemudian tahun 2010, 2011,
2012 banjir yang sama terjadi dan yang
paling parah banjir pada tanggal 18-19 Januari
2013 dan 18-19 Januari 2014 bahkan terhitung pada rentang dari januari
2014 sampai dengan juni 2014 Kp. Pangasinan RT 01, 02, dan 03 mencapai 15 kali.
(Luar Biasa) dan sekarang 2016 jika dilihat penurunan permukaan tahan diperkirakan
sekitar 1 – 1,5 meter jika dilihat dari permukaan air dengan daratan.
Data jumlah penduduk yang terkena
dampak bencana banjir di Desa Karangligar :
No.
|
Wilayah
|
KK
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
1.
|
RT 001
|
116
|
167
|
187
|
354
|
2.
|
RT 002
|
71
|
134
|
154
|
288
|
3.
|
RT 003
|
77
|
147
|
167
|
314
|
4.
|
RT 004
|
69
|
115
|
138
|
253
|
5.
|
RT 005
|
157
|
213
|
222
|
435
|
6.
|
RT 006
|
84
|
158
|
169
|
327
|
7.
|
RT 007
|
125
|
187
|
199
|
386
|
Jumlah
|
699
|
1121
|
1236
|
2357
|
Dari hasil survei langsung ternyata
memang wajar jika warga berasumsi kalau adanya penurunan kontur tanah di Desa
Karangligar karena terdapat 7 titik sumur eksplorasi gas bumi. Kegiatan ekplorasi dan eksploitasi terjadi mulai tahun 1990
sampai sekarang berarti PT. Pertamina sudah ± 26 tahun mengambil sumber daya
alam yang berada di Desa Karangligar.
Dari beberapa sumber yang ada yang
kami coba mengambil sampel data warga pangasinan dan kampek yang rata-rata
diatas 45 tahun umurnya, rata-rata mereka berpendapat :
“ Dulu
warga parungasari yang mengungsi ke kp. Pangasinan bahkan mereka sampai membawa
binatang peliharaan, dan di kampung pangasinan aman tidak terkena banjir tapi
sekarang aneh kenapa kita duluan yang kena banjir padahal desa parungsari yang
dibantaran sungai cibeet banjirnya belakangan”.
Jika ditinjau lebih jauh tentang
penerapan teknik fracking, critical point potensi pencemaran
dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pada potensi pencemaran udara,
pencemaran air permukaan dan pencemaran air tanah. Pencemaran udara dapat
terjadi jika ada gas bumi yang bocor secara tidak sengaja hingga menembus
permukaan bumi atau secara sengaja seperti yang ada di pengolahan permukaan
sumur eksplorasi lewat venting, kebocoran yang tidak disengaja atau flaring.
Polusi udara ini akan sangat berbahaya jika berada di daerah dengan kepadatan
penduduk cukup tinggi di sekitar sumur eksplorasi. Pencemaran air permukaan
dapat terjadi disebabkan oleh pemindahan dan penanganan pit yang buruk
sehingga kontaminasi produced water akan masuk ke tanah sehingga mencemari air
permukaan dan berpotensi juga untuk mencemari air tanah. Penyebab lain yaitu karena
instalasi casing yang buruk atau casing yang tidak layak sehingga
mengakibatkan rembesan fracking fluid atau gas bumi ke luar. Gas bumi
yang sudah mudah mengalir sendiri dapat mengalir bebas ke retakan atau ruang.
ruang kosong yang ada di luar casing karena tanah disekitar tersebut
tidak padat atau permeabilitasnya tinggi sehingga dapat mencemari akuifer
hingga ke permukaan tanah. Pencemaran air tanah dapat terjadi juga akibat
retakan yang diakibatkan aliran gas bumi ke permukaan tanpa melewati sumur
eksplorasi. Retakan inilah yang dapat menyebabkan kebocoran sampai ke permukaan
atau pencemaran air tanah pada akuifer sumur dalam. Bahaya-bahaya yang dapat
diakibatkan hal ini adalah rusaknya air tanah dan air permukaan, peningkatan
bahaya perubahan iklim, kerusakan ekosistem yang kesemuanya bermuara pada
buruknya kualitas lingkungan sehingga dianggap tidak layak huni bagi mahkluk
hidup. Seluruh pencemaran akibat aktivitas hydraulic fracturing sebenarnya
sangat berbahaya bagi manusia dan ekosistem. Pengawasan aktivitas ini sebaiknya
harus diatur seketat mungkin karena selain mleibatkan sumur eksplorasi yang
lebih padat per areanya dibanding sumur konvensional, kegiatan ini juga
melibatkan banyak bahan kimia beracun dan berbahaya dalam fracking fluid.
Air sebagai sumber kehidupan makhluk hidup sudah tidak layak dikonsumsi pada
daerah yang sudah terkena kontaminasi akibat dari gas bumi atau pencemaran produced
water. Udara yang tidak bersih juga akan semakin berakibat buruk pada
kesehatan makhluk hidup disekitarnya.
Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh
perusahaan diantaranya :
1.
UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 tentang
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
2.
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) Bumi
air dan kekayaan alam yang terkandung dikuasai negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal (4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
3. Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal (71) Pemerintah
wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan
hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal (72) Kewajiban
dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi
langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.
Pasal 101
Setiap orang, kelompok, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga
kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam
rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
4.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
5.
Peraturan MENLH Nomor 19 Tahun
2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Minyak dan Gas.
6. Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa bagi
hasil pertambangan migas diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah yang wilayahnya sedang dieksploitasi.
Blogger Comment
Facebook Comment